Memulai kesehatan, dan ketenagakerjaan
Tahun 2012 mendekati akhir. Pencapaian di bidang perlindungan hak asasi manusia (HAM) kian buruk, dan korupsi kian kental. Bentrok terjadi di sejumlah tempat dengan korban masyarakat biasa, dari kelompok tani, mahasiswa, pelajar, hingga polisi. Radar Bandara Soekarno- Hatta mati. Kemacetan menggila di berbagai kota. Banjir dan tanah longsor menjadi kabar tentang alam yang kian rusak. Bumi Kalimant kesulitan listrik dan bahan bakar minyak. Inilah tahun yang diprediksi akan terjadi kiamat, tetapi sudah terlewati.
Kiamat yang diprediksi suku Maya itu hanya menjadi sebuah film yang ditonton jutaan orang di seluruh dunia. Keadaan di dunia internasional sama rapuhnya dengan krisis di sejumlah negara. Nasib kaum muslim di Rohingnya, perlakuan Israel terhadap Palestina, tragedi di Suriah, pemilu presiden di Amerika Serikat, sampai penyakit yang melanda para pemimpin negaranegara Amerika Latin yang pertumbuhan ekonominya sedang membaik. Di bidang pemerintahan daerah, tahun 2012 memotret sekian banyak pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Yang paling menyita layar televisi adalah pilkada DKI Jakarta. Kehadiran dan kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama mengagetkan banyak pihak, menghancurkan prediksi lembaga survei mana pun. Partai politik kehilangan kemampuan untuk menjadi pihak terdepan sebagai alat ukur keberhasilan demokrasi.
Sejumlah politisi lama dan baru dijadikan tersangka kasus korupsi. Bupati Aceng dari Garut menghebohkan Indonesia dengan pernikahan kilatnya yang hanya empat hari. Banyak hal yang sudah terjadi di tahun 2012. Tentu semua mencatatnya. Yang sulit adalah mencari makna dari beragam peristiwa itu. Benarkah yang terjadi hanyalah skenario yang dilahirkan kekuatan supranatural melebihi kekuatan manusia? Ataukah semuanya bagian dari kegagalan umat manusia, terutama kalangan pemimpin, setelah terjebak dalam gelimang memabukkan manisnya anggur demokrasi? Ke mana pemimpin, ke mana presiden, ketika tenaga kerja Indonesia diperkosa polisi Malaysia atau dilihat sebagai budak zaman milenium? Lolos Namun, tetap saja kita lolos dari lubang jarum kehidupan ini dengan cara yang unik, yakni berdasarkan kesabaran dan ketabahan penduduk.
Kehidupan berlangsung menjadi biasa, ketika pagi datang dan segelas kopi panas ditaruh di atas meja. Apakah kepedulian hilang? Tidak. Ada banyak anggota masyarakat yang peduli atas masalah anggota masyarakat lain. Tetapi juga ada anggota masyarakat yang menjadi terbiasa untuk berharap, betapa yang lain sudah berbuat, tinggal berpangku tangan saja. Ketika peristiwa demi peristiwa berulang di bidang yang sama, kita sesungguhnya sedang menggantungkan hidup pada alam. Aspek kepemimpinan politik terbaikan, solidaritas rapuh, lalu tiap-tiap orang hidup dengan rutinitas sehari-hari.
Ditetapkannya Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang menutup tahun 2012 dengan pertanyaan: kapankah kasus korupsi berhenti? Sudah terlalu banyak penyelenggara negara dijadikan tersangka, terdakwa, dan terpidana dengan hukuman beragam. Seorang petinggi polisi juga menjadi tersangka, yakni Irjen Djoko Susilo, lalu ditahan. Kita tampaknya belum akan berhenti melihat kejadian ini terulang dengan tersangka berbeda, di tahun mendatang. Korupsi adalah benalu bagi pelayanan publik, sekaligus parasit demokrasi.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang terpuruk barangkali lebih banyak disumbang oleh perilaku korup ketimbang kesalahan dalam kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan. dan ketenagakerjaan. Arah yang tepat sudah diletakkan oleh konstitusi, bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, namun pelaksanaannya terkendala perilaku korup penyelenggara negara. Yang kini juga semakin terasa adalah timpangnya pembangunan antara bagian Jawa lain dan Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, apalagi antara luar Jawa dan DKI Jakarta. Jakarta seakanakan sudah berubah menjadi neraka bagi warga negara akibat kemacetan yang luar biasa.
Kemacetan menjalar ke Bandung, Bogor, dan wilayah lain di Pulau Jawa. Hal ini bukan hanya akibat ketersediaan infrastruktur jalanan dan prasarana lainnya, melainkan juga beredarnya dengan mudah kendaraan pribadi. Selama pemerintah tidak mencoba membatasi jumlah peredaran kendaraan, kemacetan akan menjadi berita harian yang merusak kenyamanan. Kehidupan politik sebetulnya semakin bebas. Hanya, kita membutuhkan pengendalian, pendalaman, sekaligus arah yang semakin berimpitan dengan kesejahteraan. Kalau tidak, politik dan demokrasi hanya soal teriakan kebisingan dan keluhan. Masyarakat tampak masih bergairah dengan demokrasi, terutama dengan pilkada DKI Jakarta. Akan tetapi, lama-kelamaan, gairah itu bisa dengan cepat menurun, digantikan rasa penat dan jenuh.
Dampaknya, partisipasi politik menurun dengan cepat, namun juga disertai dengan ketidakpercayaan pada institusi demokrasi. Yang mendapat keuntungan dari proses demokrasi juga semakin banyak jumlahnya. Kelas menengah baru lahir. Begitu juga kaum berpendidikan sekaligus berpunya. Sebelum demokrasi hadir, konsentrasi kekayaan dan penghasilan hanya di kalangan yang dekat atau bagian dengan rezim. Kini, kedekatan itu tidak diperlukan. Masyarakat bisa memperoleh hasil pencapaian pribadi, bahkan tanpa harus menjadi bagian dari rezim. Malahan, menjadi bagian dari kelas menengah baru yang independen adalah bagian dari keyakinan hari ini.
Pemain Utama
Partai politik adalah pemain utama dalam panggung dan drama demokrasi. Hal inilah yang terekam selama 2012, lalu semakin tampak pengaruhnya pada 2013 dan 2014. Agenda pemilu yang di ambang pintu sudah menjadi bagian dari itu. Partai politik menjadi aktor sentral yang mencari dukungan masyarakat sekaligus menempati posisi strategis sebelum dan setelah pemilu. Diperkirakan semakin banyak anggaran publik yang dipakai untuk hajatan pemilu, baik secara terang-terangan melaui program-program penyelenggara negara maupun dibungkus dengan mengatasnamakan hibah dan bantuan sosial.
Partai politik (parpol) mendapat keuntungan dari itu, namun bisa juga mengalami kerugian besar apabila dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum dan prinsip pemerintahan yang baik dan benar. Jumlah peserta pemilu 2014 akan berkurang secara drastis. Hal itu menciptakan momentum hanya akan ada beberapa parpol yang bertahan. Dampak yang diinginkan, ada kekuatan mayoritas yang lahir dari rahim pemilu.
Kecilnya perolehan suara partai-partai politik peserta pemilu 2004 berdampak pada kurangnya kontrol terhadap keseluruhan sistem. Politik membutuhkan dominasi, tetapi bukan hegemoni. Dengan hasil pemilu 2009, Partai Demokrat sama sekali tidak muncul sebagai kekuatan dominan sehingga perlu berkolaborasi dengan kekuatan parpol lain dalam menjalankan pemerintahan. Dengan minimnya peserta pemilu 2014, terbuka peluang bagi munculnya dominasi dalam sistem politik. Dominasi di sini adalah adanya kesesuaian antara pemenang pemilu legislatif dan pilpres, disertai dengan pilkada. Apabila dominasi tidak ada, sistem politik yang liberal juga semakin kehilangan arah, ketika para pengendali berbeda di setiap lembaga dan jenjang pemerintahan.
Yang terjadi adalah egoisme kelembagaan, seperti yang terjadi dalam kasus Aceng Fikri, Bupati Garut. Orang-orang yang merasa di atas sistem, bukan dikendalikan sistem. Pola pemilu 2014 yang akan mulai berjalan dalam tahun 2013 akan sama sekali berbeda dengan pemilu 2009. Masyarakat sudah "dihajar" dengan lebih dua kali pilkada di tiap-tiap daerah, baik pemilu bupati, wali kota, maupun gubernur. Rasionalitas dengan sendirinya akan muncul. Tidak lagi faktor favoritisme dan uang yang menguasai, melainkan pilihan-pilihan yang semakin disesuaikan dengan kebutuhan langsung masyarakat. Pemilih yang kritis tidak bisa lagi disumpal mulutnya dengan uang, paksaan, atau sekadar kedekatan emosional.
Adanya perubahan perilaku pemilih ini membuka kesempatan bahwa tahun perang (politik) yang terjadi tahun depan akan sangat ditentukan rasionalitas dalam kampanye. Sikap-sikap irrasional dengan sendirinya menurun. Harapan bahwa ada hal yang positif ini sekali lagi memberi kesempatan kepada pelaku-pelaku politik untuk mengedepankan visi, misi, dan program yang terbaik, bukan jumlah uang atau polesan di wajah.
Tahun 2012 mendekati akhir. Pencapaian di bidang perlindungan hak asasi manusia (HAM) kian buruk, dan korupsi kian kental. Bentrok terjadi di sejumlah tempat dengan korban masyarakat biasa, dari kelompok tani, mahasiswa, pelajar, hingga polisi. Radar Bandara Soekarno- Hatta mati. Kemacetan menggila di berbagai kota. Banjir dan tanah longsor menjadi kabar tentang alam yang kian rusak. Bumi Kalimant kesulitan listrik dan bahan bakar minyak. Inilah tahun yang diprediksi akan terjadi kiamat, tetapi sudah terlewati.
Kiamat yang diprediksi suku Maya itu hanya menjadi sebuah film yang ditonton jutaan orang di seluruh dunia. Keadaan di dunia internasional sama rapuhnya dengan krisis di sejumlah negara. Nasib kaum muslim di Rohingnya, perlakuan Israel terhadap Palestina, tragedi di Suriah, pemilu presiden di Amerika Serikat, sampai penyakit yang melanda para pemimpin negaranegara Amerika Latin yang pertumbuhan ekonominya sedang membaik. Di bidang pemerintahan daerah, tahun 2012 memotret sekian banyak pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Yang paling menyita layar televisi adalah pilkada DKI Jakarta. Kehadiran dan kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama mengagetkan banyak pihak, menghancurkan prediksi lembaga survei mana pun. Partai politik kehilangan kemampuan untuk menjadi pihak terdepan sebagai alat ukur keberhasilan demokrasi.
Sejumlah politisi lama dan baru dijadikan tersangka kasus korupsi. Bupati Aceng dari Garut menghebohkan Indonesia dengan pernikahan kilatnya yang hanya empat hari. Banyak hal yang sudah terjadi di tahun 2012. Tentu semua mencatatnya. Yang sulit adalah mencari makna dari beragam peristiwa itu. Benarkah yang terjadi hanyalah skenario yang dilahirkan kekuatan supranatural melebihi kekuatan manusia? Ataukah semuanya bagian dari kegagalan umat manusia, terutama kalangan pemimpin, setelah terjebak dalam gelimang memabukkan manisnya anggur demokrasi? Ke mana pemimpin, ke mana presiden, ketika tenaga kerja Indonesia diperkosa polisi Malaysia atau dilihat sebagai budak zaman milenium? Lolos Namun, tetap saja kita lolos dari lubang jarum kehidupan ini dengan cara yang unik, yakni berdasarkan kesabaran dan ketabahan penduduk.
Kehidupan berlangsung menjadi biasa, ketika pagi datang dan segelas kopi panas ditaruh di atas meja. Apakah kepedulian hilang? Tidak. Ada banyak anggota masyarakat yang peduli atas masalah anggota masyarakat lain. Tetapi juga ada anggota masyarakat yang menjadi terbiasa untuk berharap, betapa yang lain sudah berbuat, tinggal berpangku tangan saja. Ketika peristiwa demi peristiwa berulang di bidang yang sama, kita sesungguhnya sedang menggantungkan hidup pada alam. Aspek kepemimpinan politik terbaikan, solidaritas rapuh, lalu tiap-tiap orang hidup dengan rutinitas sehari-hari.
Ditetapkannya Andi Alfian Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi proyek Hambalang menutup tahun 2012 dengan pertanyaan: kapankah kasus korupsi berhenti? Sudah terlalu banyak penyelenggara negara dijadikan tersangka, terdakwa, dan terpidana dengan hukuman beragam. Seorang petinggi polisi juga menjadi tersangka, yakni Irjen Djoko Susilo, lalu ditahan. Kita tampaknya belum akan berhenti melihat kejadian ini terulang dengan tersangka berbeda, di tahun mendatang. Korupsi adalah benalu bagi pelayanan publik, sekaligus parasit demokrasi.
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang terpuruk barangkali lebih banyak disumbang oleh perilaku korup ketimbang kesalahan dalam kebijakan di bidang pendidikan, kesehatan. dan ketenagakerjaan. Arah yang tepat sudah diletakkan oleh konstitusi, bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, namun pelaksanaannya terkendala perilaku korup penyelenggara negara. Yang kini juga semakin terasa adalah timpangnya pembangunan antara bagian Jawa lain dan Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, apalagi antara luar Jawa dan DKI Jakarta. Jakarta seakanakan sudah berubah menjadi neraka bagi warga negara akibat kemacetan yang luar biasa.
Kemacetan menjalar ke Bandung, Bogor, dan wilayah lain di Pulau Jawa. Hal ini bukan hanya akibat ketersediaan infrastruktur jalanan dan prasarana lainnya, melainkan juga beredarnya dengan mudah kendaraan pribadi. Selama pemerintah tidak mencoba membatasi jumlah peredaran kendaraan, kemacetan akan menjadi berita harian yang merusak kenyamanan. Kehidupan politik sebetulnya semakin bebas. Hanya, kita membutuhkan pengendalian, pendalaman, sekaligus arah yang semakin berimpitan dengan kesejahteraan. Kalau tidak, politik dan demokrasi hanya soal teriakan kebisingan dan keluhan. Masyarakat tampak masih bergairah dengan demokrasi, terutama dengan pilkada DKI Jakarta. Akan tetapi, lama-kelamaan, gairah itu bisa dengan cepat menurun, digantikan rasa penat dan jenuh.
Dampaknya, partisipasi politik menurun dengan cepat, namun juga disertai dengan ketidakpercayaan pada institusi demokrasi. Yang mendapat keuntungan dari proses demokrasi juga semakin banyak jumlahnya. Kelas menengah baru lahir. Begitu juga kaum berpendidikan sekaligus berpunya. Sebelum demokrasi hadir, konsentrasi kekayaan dan penghasilan hanya di kalangan yang dekat atau bagian dengan rezim. Kini, kedekatan itu tidak diperlukan. Masyarakat bisa memperoleh hasil pencapaian pribadi, bahkan tanpa harus menjadi bagian dari rezim. Malahan, menjadi bagian dari kelas menengah baru yang independen adalah bagian dari keyakinan hari ini.
Pemain Utama
Partai politik adalah pemain utama dalam panggung dan drama demokrasi. Hal inilah yang terekam selama 2012, lalu semakin tampak pengaruhnya pada 2013 dan 2014. Agenda pemilu yang di ambang pintu sudah menjadi bagian dari itu. Partai politik menjadi aktor sentral yang mencari dukungan masyarakat sekaligus menempati posisi strategis sebelum dan setelah pemilu. Diperkirakan semakin banyak anggaran publik yang dipakai untuk hajatan pemilu, baik secara terang-terangan melaui program-program penyelenggara negara maupun dibungkus dengan mengatasnamakan hibah dan bantuan sosial.
Partai politik (parpol) mendapat keuntungan dari itu, namun bisa juga mengalami kerugian besar apabila dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum dan prinsip pemerintahan yang baik dan benar. Jumlah peserta pemilu 2014 akan berkurang secara drastis. Hal itu menciptakan momentum hanya akan ada beberapa parpol yang bertahan. Dampak yang diinginkan, ada kekuatan mayoritas yang lahir dari rahim pemilu.
Kecilnya perolehan suara partai-partai politik peserta pemilu 2004 berdampak pada kurangnya kontrol terhadap keseluruhan sistem. Politik membutuhkan dominasi, tetapi bukan hegemoni. Dengan hasil pemilu 2009, Partai Demokrat sama sekali tidak muncul sebagai kekuatan dominan sehingga perlu berkolaborasi dengan kekuatan parpol lain dalam menjalankan pemerintahan. Dengan minimnya peserta pemilu 2014, terbuka peluang bagi munculnya dominasi dalam sistem politik. Dominasi di sini adalah adanya kesesuaian antara pemenang pemilu legislatif dan pilpres, disertai dengan pilkada. Apabila dominasi tidak ada, sistem politik yang liberal juga semakin kehilangan arah, ketika para pengendali berbeda di setiap lembaga dan jenjang pemerintahan.
Yang terjadi adalah egoisme kelembagaan, seperti yang terjadi dalam kasus Aceng Fikri, Bupati Garut. Orang-orang yang merasa di atas sistem, bukan dikendalikan sistem. Pola pemilu 2014 yang akan mulai berjalan dalam tahun 2013 akan sama sekali berbeda dengan pemilu 2009. Masyarakat sudah "dihajar" dengan lebih dua kali pilkada di tiap-tiap daerah, baik pemilu bupati, wali kota, maupun gubernur. Rasionalitas dengan sendirinya akan muncul. Tidak lagi faktor favoritisme dan uang yang menguasai, melainkan pilihan-pilihan yang semakin disesuaikan dengan kebutuhan langsung masyarakat. Pemilih yang kritis tidak bisa lagi disumpal mulutnya dengan uang, paksaan, atau sekadar kedekatan emosional.
Adanya perubahan perilaku pemilih ini membuka kesempatan bahwa tahun perang (politik) yang terjadi tahun depan akan sangat ditentukan rasionalitas dalam kampanye. Sikap-sikap irrasional dengan sendirinya menurun. Harapan bahwa ada hal yang positif ini sekali lagi memberi kesempatan kepada pelaku-pelaku politik untuk mengedepankan visi, misi, dan program yang terbaik, bukan jumlah uang atau polesan di wajah.
No comments:
Post a Comment