Antara Shafa dan Marwa
Lima ribu enam ratus tahun silam. Lembah Mekah begitu gersang, senyap tak ada kehidupan. Cekungan itu merupakan lembah mati yang dipagari gunung batu di antara keluasan padang pasir. Namun, entah alasan apa, Ibrahim justru membawa istri dan anaknya ke lembah gersang ini untuk memulai kehidupan.
Siti Hajar hanya bisa pasrah ketika Ibrahim, suaminya itu, meninggalkan dirinya dan putranya yang masih bayi merah, Ismail, di tengah terik matahari dan kegersangan yang senyap lembah Mekah. Saat sang bayi menangis terus, diserang dahaga di tengah terik, Siti Hajar begitu tegar dalam kepasrahan.
Sang bayi digeletakkan begitu saja, persis di tengah lembah. Lantas, Siti Hajar pun berusaha mencari setetes air untuk sekadar penghilang dahaga anak tercinta. Meski tahu itu sesuatu yang mustahil, mendapat air di tengah kegersangan, namun ia berusaha, terus berusaha dan berusaha keras. Mondar mandir dari satu bukit ke bukit lainnya.
Keyakinan wanita ini akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah sedemikian kokoh. Keyakinannya yang begitu dalam tak menjadikannya samasekali berpangku tangan menunggu turunnya hujan dari langit, tapi ia berusaha dan berusaha berkali-kali naik turun bukit batu demi mencari kehidupan.
Hajar memulai usahanya dari bukit Shafa yang arti harfiahnya adalah "kesucian dan ketegaran" --sebagai lambang bahwa mencapai kehidupan harus dengan usaha yang dimulai dengan kesucian dan ketegaran-- dan berakhir di Marwa yang berarti "ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain". Momen ini begitu monumental. Bahkan, akhirnya dilestarikan menjadi salah satu rukun ibadah haji, yakni sa'i.
Sa'i --berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwa, seperti halnya yang dilakukan Siti Hajar ketika itu-- menjadi salah satu ritual ibadah haji. Dan, seperti halnya rukun lainnya menjadi salah satu ritual simbolik yang menyimpan banyak makna. Sa'i mencerminkan sikap percaya diri dan etos kerja. Sa'i adalah lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi.
Sa'i merupakan simbol penyempurna sikap optimisme dan dinamisme dalam hidup. Sa'i merupakan simbol perjuangan untuk meraih sesuatu (setetes air untuk penawar dahaga di tengah padang tandus). Ini merupakan cerminan bagi kita, hidup dituntut suatu usaha yang maksimal (Q.S.:13: 12). Menyerah dengan kondisi dan keadaan bukanlah cerminan ajaran Islam.
Jika semangat sa'i ini kita terapkan secara konsekuen dalam hal apa pun, maka grafik dinamisasi umat Islam lebih tinggi dibandingkan umat-umat lainnya. Keidentikan umat Islam sebagai umat yang terbelakang dan ketertinggalan sebagaimana kita rasakan saat ini dalam percaturan peradaban dunia, sesungguhnya dikarenakan semangat sa'i dalam diri kita belum optimal.
Karena itu, memahami makna sa'i secara totalitas mutlak dilakukan, dalam artian, mengerahkan segala potensi diri secara personal, berusaha bahu membahu dalam kerangka komunal, yang akhirnya bermuara pada kemapanan peradaban umat Islam.
No comments:
Post a Comment