Sunday, February 1, 2015

Mengemas laba dari bisnis gelas kertas


PELUANG BISNIS GELAS KERTAS


Kemasan tidak lagi dipandang sebagai wadah penyimpan atau pembungkus produk belaka. Di masa kini, baik konsumen maupun produsen sama-sama menganggap kemasan sebagai faktor penting keberhasilan suatu produk. Berbagai inovasi pun dilakukan pada kemasan.

Kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan juga turut mempengaruhi tren kemasan beberapa tahun belakangan. Nah, salah satu solusi akan kemasan yang ramah lingkungan adalah menggunakan kemasan yang terbuat dari kertas, seperti gelas kertas (paper cup).

Ada beberapa alasan kemasan jenis ini jadi pilihan banyak pengusaha makanan dan minuman. Selain karena ramah lingkungan, paper cup juga praktis untuk dibawa dan aman untuk produk konsumen, baik panas ataupun dingin.

Lioe Susanto Widjaja, Presiden Direktur PT Indo Right Pack (IRP), bisa dibilang salah satu orang yang paham akan industri paper cup. Sejak 1996, pria yang akrab disapa Susanto ini sudah akrab dengan proses pembuatan paper cup. Maklum, dia pernah bekerja di sejumlah produsen paper cup negeri ini.

Lantas, Susanto membuka usaha sendiri pada 2010. Menurut dia, paper cup pertama kali diproduksi di dalam negeri sekitar 1987 oleh Inpack Pratama. Kemudian, pada tahun 1990-an, perusahaan yang menjajakan makanan cepat saji mendirikan anak usaha yang memproduksi paper cup. Dari situlah, industri paper cup dalam negeri berkembang pesat. “Dulu produsen paper cup merupakan perusahaan besar karena usaha ini butuh modal yang sangat besar,” ujar Susanto. Namun saat ini, Susanto bilang, sudah ada beberapa produsen kecil yang terjun ke industri pembuatan paper cup.

Dibandingkan dengan kemasan yang terbuat dari plastik, harga paper cup memang jauh lebih mahal. Selisih harga antara keduanya bisa mencapai 40%. Toh, penggunaan paper cup terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah UKM yang bertambah juga mendukung peningkatan permintaan paper cup. “Industri ini juga didukung oleh tingkat pendapatan yang semakin meningkat dan masyarakat yang lebih peduli terhadap lingkungan,” kata dia.

Di beberapa negara di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan, penggunaan kemasan dari plastik maupun styrofoam sudah tidak diperbolehkan. Bahkan, produsen kemasan plastik diwajibkan membayar pajak lingkungan. “Makanya banyak produsen di luar negeri lebih tertarik memproduksi paper cup,” tambah dia.

Meskipun aturan itu belum berlaku di dalam negeri, tapi kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan sudah mulai tumbuh. Susanto pun menegaskan peluang untuk merintis usaha seperti ini cukup cerah. “Sekarang persaingan sudah mulai ketat, ditambah dengan produsen kecil yang cenderung merusak harga pasar untuk mendapat order,” ucap dia.

Di IRP, Susanto menerima order untuk paper cup dengan beragam varian seperti single polyethylene (PE) coated paper cup dan double PE coated paper cup. Ukuran isinya juga bermacam-macam, dari yang kecil 2,5 oz sampai 16 oz.

Susanto memasarkan paper cup dengan kisaran harga Rp 175–Rp 500 per item. Ia menetapkan minimal order sebanyak 25.000 item. Akan tetapi, untuk membantu pelaku UKM, ia menerima orderan 10.000 item dengan tambahan harga Rp 25 per item.

Dalam sebulan, Susanto bisa memproduksi hingga 2,5 juta paper cup. Jadi, ia bisa mengantongi ratusan juta rupiah dari usaha ini. Sementara itu, laba bersih dari pembuatan paper cup diakui Susanto tidak terlalu besar. “Kalau dulu saya bisa mengantongi untung sampai 20%, tapi karena makin banyak pemain di usaha ini, keuntungan pun hanya 8%,” ungkap dia.

Produsen paper cup lainnya ialah PT Nilam Sukses Mandiri (Nisuma) yang mulai usahanya sejak 2009. Jeanne Tjan, Account Manager Nisuma, menuturkan, tiap tahun terjadi peningkatan yang lumayan besar. Pasalnya, banyak merek waralaba dari luar negeri merambah pasar Indonesia. “Standar mereka untuk kemasan cukup tinggi terutama mengenai lingkungan, jadi itu mendorong pertumbuhan permintaan paper cup di sini,” ucapnya.

Selain menyasar pasar UKM yang terus bertumbuh, Nisuma juga mengekspor produknya ke beberapa negara di Asia, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. “Masyarakat saat ini sudah paham mengenai food grade dan kemasan merupakan salah satu poin utama dalam penjualan,” ujarnya. Kemasan yang berkualitas serta ramah lingkungan membuat konsumen tertarik akan suatu produk.

Menurut Jeanne, paper cup yang berkualitas bisa dilihat dari performa secara fisik. Paper cup harus kokoh ketika dipegang. Kekokohan itu didapat dari bahan baku yang berkualitas baik. Selain itu, keamanan juga harus diperhatikan. “Kami sudah memegang sertifikat HACCP sehingga klien sudah tahu bahwa produk kami aman sebagai kemasan makanan dan minuman,” kata Jeanne.

HACCP yang singkatan dari Hazard Analysis & Critical Control Points merupakan sistem manajemen untuk memastikan sebuah makanan layak untuk dikonsumsi. HACCP disusun FDA, pengawas makanan dan obat di Amerika Serikat (AS).

Saat ini, Nisuma memasarkan berbagai ukuran dan jenis paper cup dengan harga berkisar Rp 500–Rp 1.000 per cup. Adapun kapasitas dari pabrik Nisuma mencapai 18 juta paper cup saban bulannya.


Modal bahan baku

Anda tertarik menjajal usaha ini? Susanto mengaku untuk menggeluti usaha pembuatan paper cup, kendala terbesarnya terletak pada pasokan bahan baku. Ia bercerita, dulu bahan baku polietilena untuk membuat paper cup hanya diproduksi di Finlandia, Eropa.

Di Asia, negara yang jadi pelopor pembuatan bahan baku untuk paper cup adalah Korea Selatan (Korsel). Di medio 1990-an, mayoritas produsen paper cup di Indonesia memesan kertas dari Korsel.

Lantas, sekitar tahun 2006, China mulai mengembangkan produksi bahan baku pembuatan paper cup. Padahal, kertas untuk membuat PE tersebut sebenarnya diambil dari Indonesia. Kemudian, China disusul oleh India yang mulai memproduksi kertas untuk membuat paper cup pada 2011.

Untuk membuat paper cup, IRP menggunakan bahan baku yang dibeli dari Korsel dan China. “Awalnya hanya dari Korsel, tapi setelah itu pesan ke China juga karena saya tidak mau bergantung pada satu pemasok saja,” katanya.

Bahan baku jadi kendala pada usaha ini karena harganya yang mahal. Pembeliannya pun harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Jika order bahan baku hanya sedikit, ongkos kirim akan membebani total biaya produksi perusahaan.

Di masa lalu, produsen paper cup yang memesan bahan baku, alias PE, dari Finlandia, harus rela menunggu empat bulan sebelum barang pesanannya tiba. Tak cuma waktu pengiriman yang panjang, pembayaran pun harus di muka. “Ini memberatkan karena butuh modal yang besar sekali,” ujar dia.

Akan tetapi, saat ini, pembelian bahan baku dari Korsel dan China hanya memakan waktu sebulan. Pembayaran pun dilakukan ketika barang sampai ke tangan produsen paper cup. Meski demikian, biasanya pembelian bahan baku ini minimal satu kontainer atau sekitar 15 juta metrik ton. Harga belinya sekitar Rp 300 juta. Tiap satu metrik ton kertas PE bisa digunakan untuk membuat sekitar 100.000 cup seukuran 8 oz.

Lantaran modal bahan baku ini cukup besar, lebih baik sebelum terjun ke usaha ini pengusaha sudah memastikan pasarnya. Jadi, modal bisa berputar cepat. Pengusaha pun bisa menentukan arah pengembangan selanjutnya.

Susanto memperkirakan untuk merintis usaha ini, modal yang dibutuhkan minimal Rp 1 miliar. Modal itu digelontorkan untuk membeli bahan baku awal, sewa tempat, serta membeli mesin. Susanto bilang, ada dua mesin yang digunakan untuk membuat paper cup.

Mesin pertama ialah mesin pemotong. Mesin ini biasa digunakan untuk industri percetakan. Saat ini harganya sekitar Rp 100 juta per unit, dan bisa diimpor dari China.

Mesin lainnya adalah mesin khusus pembuat paper cup. Jadi, lembaran kertas yang sudah dipotong sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan dimasukkan ke dalam mesin ini. Hasilnya paper cup yang biasa Anda temui di kafe atau restoran. “Paper cup terdiri bagian bodi dan bottom atau bagian bawah, itu harus menempel agar tidak bocor,” tandas Susanto.

Ada beberapa negara yang memproduksi mesin paper cup, seperti AS, Jerman, Korsel, dan China. Harganya sangat bervariasi. Untuk mesin dengan kualitas top, Anda bisa memesan dari Jerman seharga € 1 juta per unit. Mesin ini bisa menghasilkan 350 cup per menit. Mesin dari AS, harganya US$ 700.000 per unit dengan kecepatan produksi 150 cup per menit.

Supaya modal tidak mubazir, sebaiknya pemilihan mesin mempertimbangkan pasar yang akan dibidik. Sesuaikan kapasitas produksi mesin dengan permintaan pasar atau konsumen.

Susanto menuturkan, ketika merintis usaha, ia membeli dua mesin paper cup dari Korsel seharga Rp 300 juta–Rp 400 juta. Dengan dua mesin itu, ia bisa memproduksi 600.000 cup per bulan. Kini, ia punya delapan mesin paper cup.

Ia juga menambahkan, usaha pembuatan paper cup ini masih membutuhkan banyak sumber daya manusia. Dari pemotongan, membentuk paper cup, hingga kontrol kualitas dikerjakan oleh tenaga manusia.

Saat ini, IRP menaungi 80 orang karyawan. Kebanyakan karyawan bekerja di bagian produksi dengan tiga sif kerja. Roda produksi berputar selama 24 jam nonstop. “Kecuali hari Minggu, saya meliburkan semua karyawan,” kata dia.

Bersaing sehat, unggulkan kualitas

Persaingan dalam industri paper cup mulai sengit dengan kehadiran pemain-pemain kecil yang menjajal usaha ini. Akan tetapi, para produsen tetap optimistis masih ada celah untuk terus menggeluti usaha pembuatan paper cup. Maklum, bisnis food and beverage di Indonesia juga terus bertumbuh. Hanya, pengusaha harus memperhatikan salah satu kunci di bisnis ini, yakni mempertahankan kualitas produk.

Presiden Direktur PT Indo Right Pack, Lioe Susanto Widjaja, mengatakan, saat ini ada sekitar 10 produsen paper cup yang berlokasi di Jakarta. Banyak pemain-pemain baru bermunculan di daerah. Memang, kapasitas produksi para pemain baru itu tergolong kecil. Di satu sisi, pemain baru ini dikhawatirkan bisa merusak harga pasar, namun di sisi lain persaingan akan memaksa produsen yang ada terus berinovasi agar produknya terus laku di pasaran.

Account Manager PT Nilam Sukses Mandiri Jeanne Tjan bilang, ketika kualitas dijaga klien pasti terus mencari produk paper cup. Memang, klien mencari produk dengan harga murah. Namun, klien tak bisa menafikkan bahwa harga murah kerap tak sejalan dengan kualitas produk yang diinginkan. “Customer sudah pandai, mereka tak mau cuma harga murah,” tandas dia.

Dalam usaha pembuatan paper cup, ada dua faktor yang paling penting jadi perhatian untuk menghasilkan produk berkualitas, yaitu bahan baku dan teknologi percetakan yang digunakan. Semuanya harus food grade. Pasalnya paper cup bersentuhan langsung dengan makanan dan minuman.

Dus, Nisuma tak hanya memproduksi paper cup serta mencetak sendiri logo kliennya. “Produsen lain biasanya menyerahkan proses printing pada pihak lain, tapi kami tidak mau karena kami harus benar-benar mengawasi percetakan juga,” katanya.

Teknologi percetakan yang baik, menurut Jeanne, tidak melibatkan bahan kimia. Jadi, tinta yang digunakan berbasis air sehingga makanan atau minuman yang dikemas paper cup pun tak terkontaminasi bahan berbahaya. Selain itu, Anda juga harus pandai menjaga stok bahan baku. Pasalnya, dalam mencari pemasok paper cup, konsumen juga mempertimbangkan kestabilan produsen dalam menyediakan paper cup. Sebab, konsumen bisa berpaling kalau pabrik paper cup tak bisa memenuhi permintaan jika terjadi lonjakan.

No comments:

Post a Comment