Wednesday, October 24, 2012

THAWAF


Memaknai Thawaf







KETIKA malaikat mempertanyakan kebijakan Tuhan tentang rencana penciptaan manusia sebagai makhluk pendatang baru dan sekaligus akan ditunjuk sebagai khalifah di jagat raya, Tuhan menjawab dengan tegas: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (Q.S. 2: 30).


Malaikat merasa bersalah dengan pertanyaan itu lalu mereka memohon ampun dengan cara mengelilingi Arasy, istana Tuhan, sambil menangis selama 40 hari. Selama 40 hari Tuhan tidak menyapa malaikat. Hari ke-41 Tuhan membuatkan miniatur Arasy di Baitul Makmur dan di sanalah para malaikat diminta melanjutkan thawaf-nya. Di sana pula Adam dan Hawa ikut serta melaksanakan thawaf. Thawaf merupakan bentuk ibadah tertua yang juga dilakukan oleh seluruh makhluk makrokosmos, seperti planet dalam galaksi bimasakti.


Thawaf sebenarnya adalah simbolisasi dari perjalanan hidup manusia dalam rangka mendekat kepada Allah. Sering disebut bahwa Allah merupakan asal dan akhir. Manusia, seperti halnya semua makhluk lainnya, berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah SWT. Siapa saja yang mengorientasikan hidupnya kepada selain Allah, maka ia telah keluar dari orbit penciptaannya. Keluar dari orbit sama artinya dengan kehancuran.


Setelah Rasulullah Saw membawa agama yang ‘telah disempurnakan’, bentuk ibadah tertua inipun mendapat penyempurnaan. Thawaf merupakan ritual yang disimbolkan dengan mengelilingi Ka'bah. Thawaf pun disariatkan kepada umat Islam, bahkan menjadi salah satu rukun haji.


Semua jamaah haji pasti melakukan thawaf, tidak membedakan suku bangsa dan negara. Dari ritual ini pesan yang muncul adalah bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Status sosial seperti kekayaan, pangkat, jabatan tidak meninggikan kedudukan seseorang di mata-Nya. Melakukan thawaf yang menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia-manusia lain, serta memberi kesan kebersamaan menuju satu tujuan yang sama yakni berada dalam lingkungan Allah SWT.


Di hadapan Ka’bah yang berbentuk kubus ini, para pelaku thawaf akan merenungkan keunikan Ka’bah yang menghadap ke segala arah, yang melambangkan universalitas dan kemutlakan Tuhan; suatu sifat Tuhan yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh alam (Q. S. 106: 21). Dengan tawaf, umat manusia dididik aktif bergaul menjalin komunikasi dengan Tuhan dan antarmanusia (Q. S. 112: 2).


Semua rentetan ritual ini mengandung pesan mendalam sebagai ibrah (pelajaran) dalam hidup dan kehidupan. Dalam Thawaf, misalnya, seseorang perlu menjaga laju langkahnya dengan orang lain. Bila terlalu cepat maka ia akan menabrak orang lain di depannya. Bila terlalu lamban ia akan ditabrak pelaku thawaf di belakangnya. Seperti bulan mengitari bumi. Dan bumi bersama planet-planet lain mengitari matahari. Masing-masing benda-benda langit tersebut berjalan mengitari orbitnya, sesuai apa yang diperintahkan Allah kepada mereka (Q.S. 36: 36-40).


Sedangkan kita manusia, berjalan dalam orbit Allah yang disimbolkan dengan Ka’bah. Inilah makna Firman Allah SWT : “Sesungguhnya, shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.” (Q.S. 6: 162).


Apa yang dilakukan, sekalipun berat, harus berjalan tujuh kali putaran dilakukan dengan cara dan hitungan yang benar. Sekalipun berthawaf tidak memerlukan pengawas oleh siapapun, karena dilakukan dengan keyakinan--keimanan, keikhlasan dan semata-mata untuk mengabdi kepada Allah, maka tugas itu ditunaikan dengan penuh kesungguhan tanpa manipulasi sedikitpun. Tidak akan ada orang thawaf mengurangi jumlah putaran sebagaimana yang disyari’ahkan. Mereka akan melakukan tujuh kali putaran dengan cara apapun melakukannya.


Apapun dan siapapun orang itu, ia harus selalu menjadikan ketaatan kepada Allah sebagai fokus sentral kehidupannya. Sehingga apapun dan bagaimanapun yang dilakukan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, dan yang lebih penting lagi bahwa itu semua memperoleh legitimasi Rabbani karena dilandasi niat memenuhi perintah Allah, dilaksanakan sesuai syari’atNya dan digunakan di jalan Allah SWT.


Thawaf, ritual ibadah paling tua itu, yang disariatkan setelah mendapat penyempurnaan itu, mencerminkan pentingnya menjaga konsistensi hidup di dalam orbit ketaatan kepada Allah SWT.


No comments:

Post a Comment