Sunday, January 13, 2013

ABDULLAH BIN UMMI MAKTUM

ABDULLAH IBNU UMMI,TITIPAN ALLAH PADA RASULULLAH

Sang sahabat yang mulia dan agung ini tidak berakhir hayatnya sebelum Allah mengabulkan hasrat hatinya tersebut. Pada saat Perang Qadisiyah, ia turut berperang sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dialah seorang buta pertama yang turut berperang dalam sejarah peperangan Islam.





















Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatu
Bismillahirahmannirahim

Menjadi buta tidak lantas menjadi alasan bagi Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan perintah Allah.

Dia tidak pernah mengemis kasihan atas matanya yang telah buta sejak kecil. Keterbatasan yang dimilikinya hanya menambah keimanannya pada Allah dan kesetiaannya dalam Islam.

Dia tetap berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat berjamaah, menghafalkan Alquran dan hadis, bahkan berjihad. Tak ayal, Allah memuliakannya. Bahkan, dua surat Alquran secara istimewa turun atas peristiwa yang terjadi padanya.
Setiap menjelang waktu fajar, dia keluar rumah dan bergegas ke masjid. Tak ada yang mampu menghalanginya. Dia akan bertopang pada tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang Muslim.

Bahkan, bila cara terakhir yang bisa dilakukannya untuk sampai ke masjid adalah dengan merangkak, Ibnu Ummi Maktum tak akan ragu melakukannya.

Pernah pula suatu kali di tengah jalan kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Tetapi, tekadnya bulat. Dia tetap melaksanakan shalat berjamaah pergi ke masjid tanpa memedulikan luka di kakinya.

Ibnu Ummi Maktum terkenal peka dengan waktu. Dia bisa mengetahui waktu shalat dengan tepat. Atas keistimewaan itu, dia dipercaya untuk mengumandangkan azan bila Bilal Ibnu Rabah berhalangan.

Bahkan, saat Nabi Muhammad dan rombongannya hijrah ke Madinah, Ibnu Ummi Maktum bertanggungjawab atas hal yang sama di Makkah untuk memastikan kaum Quraisy tegak telinganya mendengarkan perintah shalat.

Ketekunannya untuk shalat di masjid membuat iblis tak rela. Pada suatu Subuh ia bertemu dengan seorang pemuda yang menuntunnya ke masjid selama berhari-hari. Tetapi, ketika Ibnu Ummi Maktum hendak berterima kasih kepadanya dengan mendoakannya, si pemuda menolaknya.
“Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau 
do'akan,” jawab sang pemuda. 

“Jika demikian, cukuplah sampai di sini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau dido'akan,” tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.

Maka, sang pemuda inipun akhirnya mengenalkan diri. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis,” ujarnya.

“Lalu, mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid? Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid?” tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.

Sang pemuda itu kemudian membuka rahasia. “Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi.”

“Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini,” jawabnya.

Ibnu Ummi Maktum tak hanya taat melaksanakan shalat, tetapi juga rajin menghafalkan Alquran. Dia adalah sahabat nabi yang paling banyak menghafalkan Alquran. Dia sangat rajin mendatangi majelis Rasulullah dan menyimak setiap surat yang diturunkan Allah kepada Nabi.

Tak sekali dua kali dia meminta Rasullah mengulang sebuah surah atau firman Allah yang baru saja diterimanya agar dia dapat menghafalkannya. Tetapi, sikap rewelnya ini tak pernah sekalipun membuat Rasullulah kesal.

Hingga suatu ketika, Rasulullah sedang gencar-gencarnya berdakwah kepada para pemuka Quraisy. Nabi sangat berambisi untuk mengislamkan mereka.

Pada suatu hari Rasulullah mengadakan pertemuan dengan Utbah bin Rabi’ah, saudara kandung Syaibah bin Rabi’ah, yaitu Amr bin Hisyam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Jahal dan Walid bin Mughirah atau ayah Khalid bin Walid.

Di tengah pertemuan tersebut, Ibnu Ummi Maktum datang menghadap Nabi yang sedang bercengkerama dengan para pembesar Quraisy itu.

“Wahai Rasulullah, ajarkan padaku ayat yang diajarkan Allah kepadamu,” kata Ibnu Ummi Maktum.

Tetapi, kali ini Rasulullah justru memalingkan wajahnya dari sahabat yang buta itu. Allah lalu mengingatkan Rasullullah dengan turunnya surah Abasa sebanyak 16 ayat langsung.

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?”

“Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup maka kamu melayaninya. Padahal, tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan, adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera.”

“Sedang ia takut kepada (Allah) maka kamu mengabaikannya, sekali-kali jangan! Sesungguhnya ajaranajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Maka, barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memerhatikannya…”

Sejak saat itu, Rasulullah memuliakan Ibnu Ummi Maktum. Bahkan, Nabi memercayakan sejumlah posisi penting untuk diduduki Ibnu Ummi Maktum. Ketika Nabi pergi berperang, sekitar 10 kali beliau meminta Ibnu Ummi Maktum untuk menggantikannya menjadi pemimpin Kota Madinah.

Kecintaan Ibnu Ummi Maktum akan Islam tak sampai di sana saja. Satu hal yang begitu dinginkannnya adalah bisa berjihad. Dia tidak peduli dirinya buta. Dia bahkan percaya bahwa dia bisa bermanfaat dalam medan perang. Tetapi, kesempatan untuk membuktikan hal tersebut tak juga didapatkannya.

Setelah Perang Badar, Allah memerintahkan Rasulullah untuk meningkatkan status para mujahidin dan menyindir mereka yang tidak ikut berperang. “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk atau tidak turun berperang.”

Dispensasi dari Tuhan

Ibnu Ummi Maktum merespons surat tersebut dengan berdo'a pada Allah.
Dia menyatakan keinginannya yang besar untuk berjihad, tetapi keterbatasan yang dimilikinya tak memungkinkan hal tersebut. “Ya Tuhanku, Engkau memberikan ujian begini, bagaimana saya dapat berbuat?”

Ia tak menunggu lama hingga Allah menjawab lewat turunnya surah an-Nisaa ayat 95. Dalam ayat itu dijelaskan bahwa mereka yang memiliki keterbatasan fisik diberikan dispensasi untuk tak ikut berperang.

Keteguhan Ibnu Ummi Maktum menjalankan ajaran agama ternyata mampu menggugah langit. Para malaikat pun memuji keteguhan Ibnu Ummi Maktum.

Sahabat Anas Ibnu Malik menuturkan bahwa pada suatu hari Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah.

Saat itu, ada Ibnu Ummi Maktum. Jibril lalu bertanya, “Sejak kapan kau tidak dapat melihat?” Yang kemudian dijawab Ibnu Ummi Maktum, “Sejak kanak-kanak.”

Lalu, Jibril berkata, “Allah berfirman, ‘Apabila Aku mengambil indra penglihatan hamba-Ku, tiada imbalan baginya selain surga’.”

Atas kalimat Jibril ini, Rasulullah pun memberi selamat kepada Ibnu Ummi Maktum. “Engkau telah mendapat berita gembira masuk surga, langsung dari malaikat Jibril.”

Bila Rasulullah menjumpainya maka beliau akan mengucapkan, “Selamat datang wahai orang yang dititipkan Tuhanku untuk diperlakukan dengan baik.”

Subhanallah
Wallohualambisshawab





Ibnu Ummi Maktum terkenal peka dengan waktu. Dia bisa mengetahui waktu shalat dengan tepat. Atas keistimewaan itu, dia dipercaya untuk mengumandangkan azan bila Bilal Ibnu Rabah berhalangan.














Kecintaan Ibnu Ummi Maktum akan Islam tak sampai di sana saja. Satu hal yang begitu dinginkannnya adalah bisa berjihad

Friday, January 11, 2013

MALAIKAT MAKHLUK PENJAGA SISTEM KESEMESTAAN


Malaikat, Makhluk Penjaga Sistem Kesemestaan







Apa sebenarnya malaikat itu? Apa fungsi-fungsinya? Bagaimana pula dia bisa mendoakan orang-orang yang beramal saleh? Apakah Allah Swt. akan mengabulkan doa-doa mereka itu? Inilah serangkaian pertanyaan yang ingin penulis ungkapkan jawabannya di sini sebelum kita masuk pada pembahasan tentang orang-orang beruntung yang senantiasa didoakan oleh para malaikat.




Jumhur ulama berpendapat bahwa malaikat adalah makhluk halus yang diciptakan dari cahaya, dapat berubah-ubah bentuk, taat mematuhi perintah Allah ‘Azza wa Jalla, dan sedikit pun tidak membangkang kepada-Nya. Allah Swt. menganugerahkan kepada mereka akal dan pemahaman, menciptakan bagi mereka naluri untuk taat, dan memberikan kepada mereka kemampuan berubah-ubah dengan berbagai bentuk yang indah dan kemampuan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat.

Para ulama pun—dengan merujuk pada Al Qur’an dan hadits—umumnya sepakat bahwa malaikat adalah makhluk gaib yang difungsikan sebagai pelaksana tugas dari Allah Swt., termasuk di dalamnya sebagai pembawa informasi dan pengatur berbagai urusan. Fungsi malaikat ini tergambar jelas dalam makna kata malaikat itu sendiri. Menurut The Holy Qur’an, malaikat berasal dari kata malâikah, sebagai bentuk jamak dari kata malak. Sebagian mufasir menerangkan bahwa kata ini berasal dari malaka atau ma’lak. Katamalaka artinya menguasai. Hal ini mengisyaratkan bahwa tugas malaikat untuk menguasai kekuatan alam dalam segi fisik sebagai bentuk pelaksanaan tugas yang Allah Swt. bebankan kepada mereka. Sementara itu, kata ma’lak atau disingkat malak, berasal dari kata alk yang artinya mengutus. Hal ini mengisyaratkan bahwa tugas lain malaikat—yang bersifat non-fisik atau rohani—adalah sebagai perantara antara Allah dan manusia.

Jika kita rinci, ada beberapa tugas besar yang diemban malaikat sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an berikut ini.

A. Utusan Allah Swt. kepada hamba yang dikehendaki-Nya

Allah Swt. berfirman sebagai berikut.

“Dia menurunkan para malaikat membawa wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya ….” (QS An Nahl, 16: 2)

“Allah memilih para utusan(-Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS Al Hajj, 22: 75)
Pengatur segala urusan. Dalam Al Qur’an surat An Nazi’at (79) ayat 5, Allah Swt. bersumpah dengan menggunakan kalimat “malaikat-malaikat yang mengatur segala urusan dunia”. Dalam surat Al Qadr (97) ayat 4 juga Allah menyatakan, ”Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.”
Mediator turunnya wahyu. “Dan sungguh, (Al Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam, yang dibawa turun oleh Ar Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan.” (QS Asy Syu’ara, 26: 192-194)
Aparat penegak kekuasaan Allah Swt. “Dan para malaikat berada di berbagai penjuru langit. Pada hari itu delapan malaikat menjunjung `Arsy (singgasana) Tuhanmu di atas (kepala) mereka.” (QS Al Hâqqah, 69: 17)




Untuk menjamin terlaksananya tugas para malaikat yang sangat berat, Allah Swt. telah melengkapi mereka dengan pelbagai potensi. Salah satu gambaran tentang potensi ini tersirat dalam Al Qur’an bahwamalak atau malaikat itu mempunyai sayap. Allah Swt. Berfirman sebagai berikut.

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Fâthir, 35: 1)

Dalam ayat tersebut, kata ajnihah adalah bentuk jamak dari janah. Artinya sayap. Misalnya, burung. Bagi burung, sayap memiliki fungsi bagaikan tangan pada menusia. Menurut Quraish Shihab, kata ini dapat dipahami dalam arti hakikat, yaitu memang makhluk yang memiliki sayap, walau bentuknya tidak tahu seperti apa. Ada pula yang memahami sayap ini sebagai suatu potensi yang menjadikan dia mampu berpindah dengan sangat mudah dari satu tempat ke tempat lainnya. Yang berpendapat semacam ini di antaranya At Thabhathaba’i. Dia menegaskan bahwa inilah yang dimaksud dengan kata “sayap” dalam ayat di atas.

Mengenai pengertian kedua yang menyebutkan sayap sebagai suatu potensi kemudian melihat pada penggunaan potensi itu untuk bergerak, berpindah tempat, atau juga berubah keadaan, seakan menggambarkan bahwa malaikat itu adalah makhluk yang bersifat energetis, alias tidak berwujud materi, alias makhluk gaib. Makna suatu “potensi” sebenarnya bisa disandingkan dengan pengertian qadar atau ukuran yang telah ditentukan. Dengan demikian, menurut Achmad Marconi dalam buku Bagaimana Alam Semesta Diciptakan: Pendekatan Al Qur’an dan Sains Modern (2003: 36), malaikat dapat diartikan suatu esensi makhluk yang ditugaskan untuk penguasaan dan pengendalian yang bebas, memiliki kemampuan untuk menyampaikan, dan untuk itu dia memiliki kekuatan yang telah ditentukan Allah sehingga mereka mampu melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa cacat atau salah.

Oleh karena itu, sebagai pelaksana dan “penjaga sistem kesemestaan” atau “the guardians of universe” yang diciptakan-Nya, malaikat dianugerahi sifat-sifat tertentu yang menjamin terlaksananya hukum-hukum Allah Swt. di alam semesta. Sifat-sifat tersebut di antaranya sebagai berikut.

B. Memiliki ketakwaan. 

Allah Swt. berfirman sebagai berikut.

“Sesungguhnya orang-orang yang ada di sisi Tuhanmu tidak merasa enggan untuk menyembah Allah dan mereka menyucikan-Nya dan hanya kepada-Nya mereka bersujud.” (QS Al A’raf, 7: 206)

“(Malaikat-malaikat) yang memikul `Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya bertasbih dengan memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman ….” (QS Al Mu’min, 40: 7)

Lihat pula Al Qur’an surat Al Baqarah (2) ayat 30 dan surat Asy Syûra’ (42) ayat 5.
Dianugerahi sifat kepatuhan. “Dan segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi hanya bersujud kepada Allah yaitu semua makhluk bergerak (bernyawa) dan (juga) para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.” (QS An Nahl, 16: 49)
Makhluk yang cerdas. ”Yang mempunyai keteguhan; maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa).” (QS An Najm, 53: 6)
Mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. “Demi (malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat) yang mendahului dengan kencang.” (QS An Nâzi’ât, 79: 3-4)
Mampu bermetamorfosis alias mengubah bentuk. Kisah malaikat yang mampu mengubah bentuk, salah satunya dapat kita simak pada kisah Nabi Ibrahim ketika beliau didatangi dua orang tamu tidak dikenal. “Dan para utusan Kami (para malaikat) telah datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan, ‘Selamat.’ Dia (Ibrahim) menjawab, ‘Selamat (atas kamu).’ Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia (Ibrahim) mencurigai mereka, dan merasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, ‘Jangan takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Lut’.” (QS Hud, 11: 69-70)

Lihat pula Al Qur’an surat Maryam (19) ayat 17; surat Al Ankabut (29) ayat 31-33; dan surat Ali Imran (3) ayat 39-42.

C. Tidak akan durhaka kepada Allah Swt

Hal ini dapat kita baca dalam Al Qur’an surat At Tahrim (66) ayat 6 berikut.

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”


Wallohualambishawab




Monday, January 7, 2013

TAHAP KEJADIAN MANUSIA DALAM AL QUR'AN

Tiga Tahap Kejadian Manusia Menurut Embriologi yang juga Tercantum dalam Al-Qur’an













“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As-Sajdah [32]:8-9)


Manusia mulai terbentuk pada saat pertemuan sperma dan telur. Perubahan yang terjadi setelah kedua sel bersatu dan semua persiapan yang berlangsung di tubuh wanita akan menunjukkan kita kejadian dahsyat.


Bahkan, pada saat ketika tengah dibuahi, telur membelah dan tumbuh sangat cepat. Kini kita mengetahui bahwa bayi melalui tiga fase perkembangan embrionik ketika berada di rahim ibu, semua keterangan ini bisa diperhatikan pada ayat berikut,


“Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya istrinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?” (QS Az-Zumar [39]: 6).


Basic Human Embryology, buku dasar standar yang merupakan rujukan embriologi, menyatakan bahwa kehidupan di uterus terdiri atas tiga tahap:


(i) pra-embrionik: dua setengah minggu pertama; Pra-embrionik: Zigot menempel ke dinding uterus. Saat sel terus bertambah, mereka membentuk tiga lapisan.


(ii) embrionik: sampai akhir minggu kedelapan, Embrionik: Pada tahap ini organ dasar dan sistem tubuh berbentuk dari lapisan sel.


(iii) fetal: dari pekan kedelapan sampai lahir. Tahap-tahap ini mencakup berbagai fase perkembangan bayi. Fetal: Embrio disebut janin. Tahap ini bermula pada minggu kedelapan kehamilan sampai melahirkan.


Subhanalloh


Wallohualambisshawab

Friday, January 4, 2013

CINTA


Cinta








“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS Ali ‘Imran [3]: 31)


Menurut Al-Qur’an, cinta sejati menuntut kepatuhan kepada Allah dan menghindari apa yang tidak diridhai-Nya. Jika kita perhatikan kehidupan dan perbuatan orang-orang yang mempunyai anggapan dan merasa yakin bahwa cinta manusia saja sudah cukup, dapat kita lihat bahwa mereka tidak teguh dengan pendiriannya itu, dan sering berubah-ubah kecintaannya.


Sebaliknya, seseorang yang mencintai Allah dengan setulus hati, sangat patuh kepada perintah-Nya, menghindari hal-hal yang dilarang-Nya serta memelihara dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang diridhai Allah, mewujudkan cintanya demi untuk mencari ridha Tuhan di setiap saat dengan kesungguh-sungguhan, keyakinan, kepatuhan, dan kesetiaan kepada-Nya.


Karena sikap prihatinnya itu, ia sangat takut akan kehilangan ridha-Nya atau menimbulkan murka-Nya.


Mengungkapkan cinta hanya di bibir saja, tetapi hidup dengan melewati batas-batas yang dilarang Allah, tentunya merupakan sikap yang munafik. Allah memerintahkan manusia untuk takut kepada-Nya. Sebagaimana termaktub dalam salah satu firman Allah Swt. berikut ini,


“Dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta laksanakanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang menyekutukan Allah.” (QS Ar-Rum [30]: 31).



Wallohualambisshawab

Thursday, January 3, 2013

AGAMA BUKAN SEKEDAR RITUAL


Agama Bukan Sekedar Ritual






Orang yang beriman mengatur seluruh hidupnya sesuai dengan Al Qur’an dan berjuang untuk melaksanakan dengan hati-hati setiap hari apa yang telah dia baca dan pelajari dari ayat-ayat Al Qur’an. Dalam segala perbuatannya sejak bangun di pagi hari sampai tidur di malam hari, dia berniat untuk berpikir, berbicara, dan bertindak berdasarkan ajaran Al Qur’an. Allah menunjukkan dalam Al Qur’an bahwa pengabdian seperti ini menjadi ciri utama seluruh kehidupan orang beriman.




Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS Al An’am, 6:162)


Tetapi ada orang yang berpikir bahwa agama hanyalah meliputi ritual yang terbatas pada waktu-waktu tertentu—bahwa hidup hanya terdiri atas waktu sholat dan waktu lainnya.


Mereka memikirkan Allah dan hidup setelah mati hanya di saat mereka berdoa, berpuasa, bersedekah, atau naik haji ke Mekah. Di waktu lain mereka tenggelam dalam urusan dunia. Hidup di dunia ini bagi mereka adalah perjuangan tanpa arah yang jelas.


Orang semacam itu hampir memisahkan diri dari Al Qur’an sepenuhnya dan memiliki tujuan sendiri dalam hidup, pemahaman sendiri mengenai akhlak, pandangan sendiri mengenai dunia dan pedoman nilainya. Mereka tidak mengerti apa arti ajaran Al Qur’an sebenarnya.


Seseorang yang melaksanakan ajaran Al Qur’an dan mengikuti Sunnah Rasulullah SAW sebagai pedoman hidup tentu akan menjalani hidup yang sangat berbeda dengan orang yang bermental seperti kita sebutkan tadi. Orang ini tidak akan lupa bahwa dia adalah bagian dari takdir yang Allah telah tetapkan atasnya dan akan menjalani hidupnya dengan percaya dan berserah diri pada-Nya. Dengan demikian, dia akan tahu bahwa dia tidak perlu khawatir, sedih, takut, resah, pesimis atau tertekan; atau dikuasi oleh kepanikan pada saat kesulitan menghadang.


Dia akan menghadapi semua yang datang kepadanya dengan cara yang Allah tunjukkan dan izinkan. Semua perkataan, keputusan, dan tindakannya menunjukkan bahwa dia hidup sesuai dengan Sunnah yang merupakan kerangka pengamalan dari ajaran Al Qur’an. Baik di saat sedang berjalan, menyantap hidangan, pergi ke sekolah, menuntut ilmu, bekerja, berolah raga, mengobrol, menonton televisi, atau mendengarkan musik, dia sadar bahwa dia bertanggung jawab menjalankan hidupnya sesuai dengan rida Allah.


Dia menyelesaikan semua urusan sesuai amanat yang diembannya dengan sebaik-baiknya, sekaligus berpikir bagaimana meraih rida Allah dalam urusan yang dikerjakannya. Dia tidak pernah bertindak dengan cara yang tidak diperkenankan oleh Al Qur’an dan berlawanan dengan Sunnah.


Hidup dengan nilai-nilai Islam dapat dilakukan dengan mengamalkan perintah dan nasihat yang diberikan oleh Al Qur’an pada segala segi kehidupan. Hal demikian dan pelaksanaan Sunnah adalah satu-satunya cara agar manusia mampu mencapai hasil terbaik dan yang paling membahagiakan di dunia dan akhirat. Tuhan berfirman dalam Al Qur’an bahwa seseorang dapat mencapai kehidupan yang terbaik dengan melakukan amal saleh:




Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS An Nahl, 16: 97)


Dengan kehendak Allah, menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur’an dan Sunnah akan membuat seseorang mampu mengembangkan sebuah pemahaman yang luas, kecerdasan yang unggul, kemampuan untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, dan kemampuan untuk mempertimbangkan sebuah urusan secara mendalam. Karakteristik ini akan menjamin seseorang yang memilikinya akan menjalani setiap saat dalam hidupnya dengan kemudahan yang bersumber dari kelebihan tersebut.


Seseorang yang menjalani hidupnya dengan berserah diri kepada Allah dan sesuai dengan ajaran Al Qur’an akan sepenuhnya berbeda dengan orang lain dalam hal cara bertindak, duduk dan berjalan, dalam sudut pandangnya dan dalam cara menjelaskan serta menafsirkan sesuatu, juga dalam pemecahan yang ia temukan atas persoalan yang dihadapinya.


Selamat beribadah ditahun baru Syamsiah dengan penuh harapan akan Ridha-Nya disepanjang perjalanan yang ditempuh menuju pertemuan dengan-Nya.


Wallohualambisshawab